Masih bicara soal Etos kerja. Kali ini di sebuah Bank swasta di kota kami.
Suatu siang sekitar pukul 14.15 saya sudah berada di Bank tadi. Saya butuh uang sebesar Rp. 200.000,- untuk membayar biaya service mobil kami di sebuah bengkel langganan saya. Saya dapat ambil uang via mesin ATM, tetapi saya ingin ada Print out di Buku Tabungan saya. Lagi pula antrian tidak begitu panjang. Ada 2 loket, yang satu 4 orang dan yang lain 5 orang yang antri.
Saya ambil antrian di loket dengan 4 orang agar lebih cepat. Sekitar pukul 14.30 saya berdiri tepat di depat Loket tsb. Sang Teller mengambil sebuah Karton yang bertuliskan: TUTUP.
Saya protes dengan bicara lantang “Bu, jangan tutup dulu. Saya sudah antri sejak tadi, kok tiba giliran saya ditutup!”
“Jam berapa Bank ini tutup?” saya meradang lagi.
“Jam 15.00.” katanya
“Lha ini kan baru jam 14.30, mengapa sudah tutup?” protes saya.
Sang Teller ( seorang Ibu ) “ Saya cape.”
Ah…jawabannya manusiawi juga ya. Kalau cape ya berhenti, tetapi di Bank ini kan ada Protapnya. Kalau tutup harus dialihkan ke Teller sebelah yang masih buka. Uang Nasabah jangan ditolak dan uang nasabah harus dapat diberikan sebagai haknya selama jam kantor.
Sang Teller ini tidak memberikan solusi kepada saya.
Kalau sudah cape, ya berikanlah kepada Teller teman disebelahnya yang masih buka dengan prioritas segera dilayani, jangan harus antri lagi.
Saya ambil uang via mesim ATM. Tidak sampai 5 menit uang sudah saya kantongi.
Ketika hendak masuk mobil, saya berubah acara. Saya kembali memasuki Bank ini dan bicara dengan seorang Bapak Costumer Service.
“Pak saya mau lapor.” kata saya.
“Ada masalah apa, Pak Bas “ ia kenal dengan saya.
Saya cerita kronologis masalah saya yang mendapat pelayanan tidak enak di Bank ini. Sang CS tidak dapat memberi solusinya. Ia mengantar saya untuk berbicara dengan Pimpinan Bank ini. Huh…..masalah kecil ini saja kok tidak dapat diselesaikan di tingkat CS.
Ibu Pimpinan Bank ini bertanya kepada saya “ Ada apa Pak.”
Mulut saya cape mengulangi lagi cerita tadi.
“Tolong tunjukan mana orangnya?” ia meminta saya menunjukkan siapa karyawati yang berbuat begitu.
Saya menunjuk dengan tepat “Itu orangnya, yang di sebelah kiri.”
“Lalu Bapak maunya apa?” dia bertanya.
“Maunya saya, jangan berbuat begitu dong. Saya kan sudah antri. Enak saja ditutup.” saya mulai meradang.
“Baiklah, kebetulan nanti sore, akan ada meeting. Jadi masalah ini dapat dibahas. Terima kasih atas masukkannya.” Ia menjawab.
Saya pulang dengan hati dongkol.
Keesokan paginya saya menghadap Pimpinan Bank itu lagi dan berkata “Bu, saya mau berhenti menjadi Nasabah ini Bank anda?”
“Kenapa?” ia balik bertanya.
“Saya tidak puas dengan etos kerja karyawati Bank anda, saya mau keluar saja.” saya menjawab. Saya pikir ia akan mengabulkan permintaan saya, ternyata tidak demikian.
“Jangan Pak. Nanti akan kami perhatian service para karyawan kami.”
Saya juga ngotot “Ah..saya tidak puas dengan pelayanan Bank ini. Saya mau keluar saja. Bagi Bank anda, kalau saya keluarpun tidak menjadi masalah sebab saya bukan Nasabah Kakap di Bank ini.”
Sang Pimpinan tetap menolak permintaan saya untuk berhenti menjadi Nasabah di Banknya. Suatu etos kerja yang tidak profesional. Sebenarnya mau keluar atau mau masuk silahkan. Siapa suka. Saya pikir ada banyak Bank di kota kami. Saya juga sudah bertahun-tahun menjadi Nasabah Bank lain yang lebih baik.
Menghadapi permintaan saya yang dilecehkan, saya putar otak.
Semua tagihan rekening: Telepon rumah, Air Ledeng dan Listrik saya minta dialihkan ke Bank lain. Jadi saya tidak ada sangkutan apa-apa lagi dengan Bank ini. Bulan depan berikutnya, saya ambil semua uang tabungan saya via mesin ATM dan disisakan sebesar Rp. 50.000,- untuk saldo yang memenuhi syarat untuk menutup Tabungan.
Akhirnya saya keluar dengan sendirinya sebagai Nasabah di Bank ini tanpa bersitegang lagi dengan Karyawan atau Pimpinannya. Buku Tabungan mati sendiri karena berbulan –bulan kemudian tidak diisi uang tabungan lagi.
Bulan berikutnya saya mendapat berita bahwa sang Pimpinan Bank ini mendapat musibah ketika mobil kantor yang ditumpangi mengalami gangguan orang jahat sampai ia masuk Rumah Sakit. Apakah kejadian itu akibat perlakukannya terhadap saya? Saya tidak dapat menjawabnya. Saya hanya menuntut hak saya sebagai Nasabah. Kewajiban saya sudah saya berikan dalam bentuk biaya administrasi Bank yang ditarik dari uang tabungan saya setiap bulannya. Masalah lain saya tidak berwenang. Ciao.-
Memang menyebalkan kalo begitu dok.
BalasHapusJaman sekarang memang jaman Customer Service. Kalo ga bagus servicenya, ya bubar.
Salam Kenal dok.
(Saya junior dokter)
TO T.S. Dr. Yudhi Gejali: Betul. Apapun profesinya, kita harus memberikan service yg baik utk setiap klien, termasuk kita para Dokter. Service bagi pasien lebih diutamakan. Service jelek, pasien akan pindah dokter. Kalau service kita bagus, maka berapapun doctor fee akan mereka bayar. Misalnya di S'pore, doctor fee mahal, tapi diimbangi dg service yg baik. Pertanyaan2 pasien akan dijawab dg baik dan santun by English or Mandarin. Lain sekali dg di Indo, banyak bertanya, dokter membentak pasien. Lha..dokter kan terima bayaran, kalau tidak boleh bertanya, ya quit aja, cari dokter lain. Kita juga harus berkerja dg hati, bukan dg hanya dg. pikiran saja. Setuju kan? Salam Sukses.
BalasHapuspertama saya komentar tentang tulisan Pak Dokter ya.
BalasHapusMemang, sayapun pernah mengalami hal yang sama Pak, tepatnya pada Bank BNI. Saya komplain, tapi tidak mendapatkan tanggapan, yang memutuskan saya untuk mengajukan penghentian menjadi nasabah, ditolak tentu. Akhirnya saya menguras isi ATM dengan menyisakan uang sebesar 20 ribu saja waktu itu.
Komentar yang kedua terkait jawaban komentar Bapak sebelumnya untuk Dr. Yudhi, memang benar Pak. Pasien itu membayar Dokter untuk mendapatkan advis, juga masukan terkait sakit yang diderita. Jika memang Dokter tidak mau melayani, ya cari Dokter lain saja. Hal yang sama pernah saya lakukan pada saat pra kehamilan Istri. Hehe....
To Pande Baik: he..he..ternyata selain juga masih ada orang yg senasib dg saya. Jaman sekarang sudah banyak Bank dan Dokter, kalau servicenya kurang baik, maka kita bisa cari yang lain yg lebih baik, bukan? Kalau tarifnya sama, maka kita adu service. Service baik, pasien akan senang, maka kalau pasien sudah cocok dg seorang dokter, maka jarang pindah dokter.
BalasHapus