Kisah nyata ini di salin dari Buku “SMALL MIRACLE”, 68 kisah nyata tentang kebetulan-kebetulan tak terduga yang memperkaya jiwa, Yitta Halberstam & Yudith Leventhal, PT Gramedia Jakarta 1999, halaman 136 – 140.
Kisah-kisah semacam ini sering saya baca dan mirip dengan suatu Tehnik Visualisasi. Kalau kita ingin meraih sesuatu, bayangkan itu sudah terjadi dan bertindaklah kita sedang menimatinya apa yang kita inginkan tadi.
Selamat membaca dan mencobanya.
***
Pada tahun 1995, Susie Henderson yang berusia 45 tahun dan tidak pernah menikah, merasa bosan dengan pekerjaannya yang tidak menarik. Karena merasa kecewa dengan kegagalan psikoterapi yang ditempuhnya untuk menciptakan perubahan berarti dalam hidup pribadinya, ia memutuskan untuk memutuskan hubungannya yang telah terjalin dengan psikolognya. Ia ingin mencoba cara lain yang idak terlalu konvensional. Ia mendaftarkan diri untuk ikut serangkaian program “pertumbuhan pribadi” yang diadakan tiap akhir minggu, juga ikut meditasi, berdoa, belajar di sebuah pusat retreat New Age, bahkan berkonsultasi dengan satu-dua orang Paranormal.
Tapi semua usaha itu tidak menghasilkan metamorfosis yang diharapkannya. Kemudian seorang teman menyarankannya menemui seorang pembimbing spiritual yang menerapkan prinsip-prinsip sprirituil ke dalam proses psikoterapi. Sekarang akhirnya Susie mulai mengalami perubahan pribadi yang selama ini dicari-carinya. Ia tidak begitu banyak lagi mendapat kesulitan dalam hubungannya dengan pria. Ia bisa membentuk hubungan yang lebih stabil dengan mereka, dan pada akhirnya bisa membebaskan diri dari belenggu yang mengikatnya pada pekerjaannya yang membosankan.
Salah satu tehnik yang diajarkan pembimbing spiritual Susie adalah meminta alam semesta untuk memberikan apa pun yang benar-benar diinginkannya. Dalam sesi pelajran, Susie sering mengeluh bahwa Tuhan tidak pernah mengabulkan kebutuhan-kebutuhannya. Ahli terapi yang menanganinya bertanya, “Apa kau pernah sungguh-sungguh meminta?
“Apa maksud Anda, meminta?”
“Alam semesta ini kaya dan berlimpah, kata sang ahli terapi. “Kau tinggal meminta apa yang kau inginkan pada Tuhan. Tapi ada caranya.” Lalu ia mengajarkan pada Susie cara meminta yang baik. Ia menekankan bahwa kita harus sangat spesifik kalau menyampaikan permintaan. Kita mesti mengatakan dengan tepat, apa yang kita inginkan, kapan tepatnya, berapa banyak dan untuk tujuan apa. Susie yang semula skeptis. Merasa terkejut ketika ternyata sebagian besar permintaannya kepada Tuhan…dikabulkan.
Suatu hari, dalam pekerjaannya yang baru sebagai resident manager di sebuah Panti Tuna Grahita ( anak cacad ), Susie mengadakan sesi “mencapai sasaran” dengan para pembimbing yang tergabung dalam satfnya. Orang-orang ini banyak menangung beban mental dalam bekerja menangani para penderita cacat tersebut dan sesi itu mereka gunakan sebagai kesempatan untuk menyampaikan keluhan. Susie berkeliling ruangan dan menerapkan strategi yang pernah diajarkan padanya oleh ahli terapi yang dulu menanganinya. Ia melatih para stafnya ini untuk mencapai sasaran mereka. Orang-orang itu menertawakan latihan tersebut, tapi Susie meminta mereka agar jangan mengatakan tidak percaya dulu.
“Mari kita bicarakan, perubahan apa yang kalian inginkan terjadi di lingkungan kerja,” Susie memulai. Pada Denise, seorang kayawan yang tidak ramah dan selalu mengeluh, ia menantang, “Perubahan-perubahan apa saja yang bisa meningkatkan kepuasanmu dalam bekerja? Apa yang kau inginkan untuk terjadi? Kalau kau punya tongkat ajaib, skenario baru apa yang ingin kauciptakan?”
“Apa yang kuinginkan untuk terjadi?” teriak Denise yang merasa senang bisa melampiaskan kemarahan dan rasa frustrasinya. “Aku sudah bosan melihat salah satu pasienku, si Karen yang malang itu, menunggu di balik jendela setiap hari, menanti kunjungan kerabatnya yang tidak pernah muncul. Tidak ada anggota keluarga yang datang menengoknya. Ibunya sudah 6 bulan tidak berkunjung. Aku kasihan sekali padanya..aku tidak sanggup lagi melihat penderitaannya.”
“Oke,” kata Susie sambil menggangguk memberi semangat. “Jadi, apa persisnya yang kauinginkan?”
“Aku ingin keluarganya datang berkunjung.”
“Baik, coba ucapkan permintanmu itu dalam kalimat yang tepat,” kata Susie.
Susie membimbing Denise selama beberapa menit, sampai Denise bisa mengucapkan sendiri permintannya dengan berdiri di tengah ruangan itu, sesuai dengan yang pernah diajarkan pada Susie oleh ahli terapinya dulu.
“Dengan ini saya membuat komitmen bahwa ibu dan kerabat Karen lainnya akan lebih sering mengunjunginya.”
“Seberapa sering?” tanya Susie “Kau mesti mengucapkannya secara mendetail.”
“Aku ingin keluarganya datang berkunjung.”
“Baik, coba ucapkan permintanmu itu dalam kalimat yang tepat,” kata Susie.
Susie membimbing Denise selama beberapa menit, sampai Denise bisa mengucapkan sendiri permintannya dengan berdiri di tengah ruangan itu, sesuai dengan yang pernah diajarkan pada Susie oleh ahli terapinya dulu.
“Dengan ini saya membuat komitmen bahwa ibu dan kerabat Karen lainnya akan lebih sering mengunjunginya.”
“Seberapa sering?” tanya Susie “Kau mesti mengucapkannya secara mendetail.”
Denise mengulangi permintannya. “Dengan ini saya menetapkan bahwa Ibu Karen akan datang setiap 2 bulan sekali.”
“Bagus!” kata Susie sambil bertepuk tangan. “Oke, sekarang kita lihat apa yang terjadi.”
Tepat keesokan harinya ibu Karen muncul di panti itu untuk pertama kalinya sejak 6 bulan. Mata Susie berbinar-binar ketika Denise menceritakan kabar itu padanya. “Menurutmu kenapa dia datang?” tanya Susie.
“Bagus!” kata Susie sambil bertepuk tangan. “Oke, sekarang kita lihat apa yang terjadi.”
Tepat keesokan harinya ibu Karen muncul di panti itu untuk pertama kalinya sejak 6 bulan. Mata Susie berbinar-binar ketika Denise menceritakan kabar itu padanya. “Menurutmu kenapa dia datang?” tanya Susie.
“Uhh..mungkin ada yang meneleponnya supaya datang,” Denise bergumam tak percaya.
“Tanyakan padanya, apa yang membuat dia datang kemari hari ini,” kata Susie.
Ketika ditanya demikian, ibu Karen menggeleng.
“Tidak, tidak ada yang meneleponku. Aku kebetulan berada disekitar sini, dan memutuskan untuk mampir.”
“Tanyakan padanya, apa yang membuat dia datang kemari hari ini,” kata Susie.
Ketika ditanya demikian, ibu Karen menggeleng.
“Tidak, tidak ada yang meneleponku. Aku kebetulan berada disekitar sini, dan memutuskan untuk mampir.”
Dua hari kemudian, nenek Karen yang sudah 4 tahun tidak pernah datang berkunjung, muncul. “Apa ada yang menelepon dan menyuruh anda datang?” tanya Denise yang terperanjat melihatnya.
“Tidak,” sahut sang nenek. “Aku cuma kebetulan memikirkan Karen, itu saja. Ada sesuatu...aku tidak ingat apa itu…yang membuatku berpikir tentang dia.”
Hari berikutnya bibi Karen datang, lalu sehari sesudahnya sepupunya yang berkunjung. “Astaga,” kata Denise pada Susie, saat para kerabat itu masuk ke kamar Karen.
“Dalam seminggu ini Karen lebih banyak mendapat pengunjung daripada biasanya sepanjang tahun.”
“Dalam seminggu ini Karen lebih banyak mendapat pengunjung daripada biasanya sepanjang tahun.”
“Nah, bagaimana pendapatmu?” tanya Susie dengan persenyum.
“Oh, sudah jelas bagiku,” kata Karen dengan penuh keyakinan. “
Catatan:
Kisah ini dengan jelas menggambarkan kekuatan kepercayaan dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya pada 2 tingkatan yang sama sekali berbeda.
Di satu tingkat, kita mengalami awal kesadaran spiritual bahwa apa yang kita percayai bisa menjadi kenyataan – itulah pelajaran yang disampaikan oleh ahli terapi yang membimbing Susie dan kemudian diteruskan oleh Susie kepada stafnya.
Pada tingkatan yang lainnya, kita belajar dari reaksi Denise tentang kebenaran yang paling penting, bahwa pada dasarnya, kebanyakan orang hanya melihat apa yang yang ingin dilihatnya dalam hidup dan bahwa pada akhirnya mata kita melihat dari dalam hati.
“Oh, sudah jelas bagiku,” kata Karen dengan penuh keyakinan. “
Catatan:
Kisah ini dengan jelas menggambarkan kekuatan kepercayaan dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya pada 2 tingkatan yang sama sekali berbeda.
Di satu tingkat, kita mengalami awal kesadaran spiritual bahwa apa yang kita percayai bisa menjadi kenyataan – itulah pelajaran yang disampaikan oleh ahli terapi yang membimbing Susie dan kemudian diteruskan oleh Susie kepada stafnya.
Pada tingkatan yang lainnya, kita belajar dari reaksi Denise tentang kebenaran yang paling penting, bahwa pada dasarnya, kebanyakan orang hanya melihat apa yang yang ingin dilihatnya dalam hidup dan bahwa pada akhirnya mata kita melihat dari dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar